Semua Tentang Tulungagung
Tuesday, April 1, 2014
Tumenggung Tawengan atau Ngabehi Katawengan dan Tumenggung Surontani
Tumenggung Surontani adalah Patih Jawi Kasultanan Mataram di bawah Sultan Agung yang ahli pertanian dan perdagangan sekaligus ahli perang melawan pengaruh VOC Belanda. Beliau pernah berhasil mendirikan Loji Dagang di Jepara. Menurut Serat Kandha dan berdasarkan penulisan De Graaf beliau berdua lama membina masyarakat tani di Tulungagung sampai akhirnya keduanya gugur di Kali Andaka (sungai Brantas)sebelah utara Tulungagung, saat perang pangan melawan pengaruh VOC di Jawa Timur. Peninggalannya berada di makam Gondang Lor Desa Sukodono Karangrejo, Wajak Lor Boyolangu dan Desa Tanggung Campurdarat. Perlu diketahui bahwa di makam Sukodono juga terdapat peninggalan zaman Singosari dan Majapahit, sehinnga dapat diduga disekitar makam tersebut dulunya terdapat daerah Kadewaguruan yang kemudian berkembang menjadi basis penyebaraqn pemikiran Isla kultural, dipersiapkan menjadi kantung-kantung perlawanan kepada Belanda. Tumenggung atau Ngabei Katewangan sebelumnya bersama Tumenggung Mangun Oneng pernah berhasil meyakinkan Raja Surabaya (bersma Raden Pekik) bergabung di bawah Kasultanan Mataram.
Pangeran Benowo
Pangeran Benowo di Bedalem Besuki, adalah anak Joko Tingkir atau cucu Ki Ageng Pengging Putra Raja Majapahit terakhir. Sebagai putra mahkota Kasultanan Pajang beliau lebih mengutamakan kepentingan negara di atas kekuasaan pribadi, berusaha menghentikan pertumpahan darah berebut tahta di Demak dan Pajang demi berdiri tegaknya Kasultanan Mataram yang lebih besar dan kuat. Beliau ahli pertanian dan perdagangan sekaligus ahli perang melawan pengaruh VOC Belanda.
Buyut Ki Ageng Pengging merasakan keprihatinan yang sangat dalam, ketika bunuh-membunuh berebut tahta kerajaan terus berkecamuk mulai Demak-Pajang hingga 61 tahun lamanya. Akhirnya beliau menanggalkan jabatan Sultan Pajang secara sukarela memberikannya kepada saudara karibnya Suto Wijoyo untuk bersama-sama mendirikan kerajaan yang lebih kuat Kasultanan Mataram. Kemudian berakhirlah konflik berdarah berebut tahta tersebut untk sementara waktu. Dalam perkembangan berikutnya ternyata konflik berubah menjadi pemberontakan-pemberontakan kepada Mataram sampai dengan perjanjian Gianti tahun 1755 di Salatiga. Penduduknya dibawa ke Mataram dan setelah itu Pajang diluluh lantahkan oleh Sultan Agung (laporan Hageman).
Latar belakang kehadirannya ke daerah karesian diperkirakan mirip dengan Adipati Panjer yang pernah terlibat dalam konflik Demak yang dipimpin oleh Pangeran Puger dengan Mataram dipimpin oleh Panembahan Senopati (Serat Kandha dan laporan Hageman). Kemudian Madeg Pandito menjadi Kyai Panjer yang makamnya dekat Prasasti Panjer Rejotangan. Mereka memberikan sesuluh dan menyebarkan pemikiran Islam sebagai misiah (Gerakan Misianistik, Prof. Sartono Kartodiharjo)
Thursday, March 27, 2014
Ratu Tri Buwana Tunggadewi
Ketika dikejar oleh pasukan Raja Jayanegara, memperoleh pertolongan dan ilmu tentang wawasan/wahana lingkungan hidup dari daerah mandala kadewaguruan yang situsnya bernama Mbah Bodo terletak di alun-alun Sendang. Wawasan yang kemudian diberi nama "Kebon Rojo". Menurut Dwi Cahyono, ada dua tradisi kerajaan yang berkaitan dengan Kebon Rojo.
Pertama, berkaitan dengan tradisi berburu hewan di hutan khusus bangsa dan kerajaan (wilayah hutan tertentu = Kebon Rojo) untk melatih ilmu kanuragan.
Kedua, kebun binatang berbagai aneka ragam jenis satwanya dipelihara dengan baik untuk legitimasi kerajaan. Jika kebun binatang tidak terpelihara dengan baik, rusak, banyak yang mati legitimasi kerajaan akan surut. Contoh yanga dapat dilihat sekarang Kebun Raya Bogor (dikembangkan Raffles Inggris 1811), Kebun Binatang Gembira Loka dekat kraton di Jogja, Kebun Binatang Surabaya (dulu disebut dierenteir) dll.
Kebun Binatang yang digagas Tribuana Tungga Dewi nampaknya lebih luas daripada 2 tradisi diatas. Gagasan yang digali di Sendang (Situs Mbah Bodo Budha) lebih merupakan wawasan lingkungan hidup (Kalpataru), bukan hanya soal fauna, tetapi juga floranya, bahkan karakter manusianya juga diperhatikan. Berdasarkan tradisi panji, beliau mengilustrasikan gagasannya berbentuk atraksi satwa : barongsai, kucingan, celengan dan jaranan. Vegetasi atau flora berbentuk atraksi Bakul Jamu Sendang oleh wanita anggun dan berwibawa (jamu=sari bumi). Sedangkan manusia diilustrasikan tetek-melek, tembem dan pentul.
Kebon Rojo digagas, dikembangkan untk mengatasi rusaknya lingkungan hidup dan Kebun Binatang di Majapahit setelah menjadi Raja Majapahit menggantikan Jayanegara.
Dari dulu sampai sekarang di lokasi situs Mbah Bodo setiap tanggal 17 Agustus setelah upacara penurunan bendera selalu dirayakan oleh ratusan bahkan pernah ribuan kelompok jaranan yang diwujudkan adat siraman barongan.
Candi Gayatri dan Kuti Sanggrahana
Pada tahun 1359 kerajaan Majapahit menyelenggarakan upacara suci Srada Agung yaitu upacara memperingati para leluhur kerajaan Majapahit. Yang menjadi hal penting dan menarik di dalam peristiwa sejarah ini adalah :
Pertama, mengapa... Upacara yang suci dan Srada Agung memilih dan menetapkan diadakannya upacara metak (menyimpan) abu jenasah Gayatri?
Kedua, apa yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya titah raja Majapahit yang tersohor ini memilih tempat untuk menyimpan abu jenasah neneknya di desa Boyolangu dalam sebuah candi berarsitektur Hindu dan Budha yang menggambarkan simbol ke-Bhinekaan atau pluralistik?
Pertama Gayatri seorang tapasi yang berjasa menggali gagasan besar Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua, yang artinya sangat penting bagi kokohnya nusantara.
Kedua, diduga kuat titah itu mempertimbangkan lokasi Boyolangu berada ditengah wilayah yang terkenal sebagai daerah Kadewaguruan atau Karesian sangat tepat dan cocok dipilih sebagai tempat metak (menyimpan) abu jenasah seorang Tapasi Besar Gayatri. Selain itu, selama hidupnya Gayatri banyak memperdalam ilmunya di daerah tersebut. Sedangkan arsitektur senkritik Hindu-Budha merupakan bentuk simbolis pemikirannya yang pluralis.
Hal lain yang menarik dalam rangkaian peristiwa upacara kenegaraan Srada Agung ini salah satu diantaranya adalah profil dan bentuk arsitektur bangunan yang dipergunakan untuk nyangrah (beristirahat) Raja Hayam Wuruk bersama rombongan tempatnya terletak di desa Wajak Kidul bernama Kuti Sanggrahana. Bangunan tersebut diduga kuat berbahan baku dari kayu dan sekarang hanya tinggal umpak batu yang cukup besar berjumlah 6 buah berbentuk trapesium dengan bidang atas berukuran sisi 1 meter dengan ukuran kedalaman yang belum diketahui. Jarak umpak satu sama lain konsisten 17 m dan 19 m. Umpak tersebut sisi atas berlubang diduga kuat sebagai penyangga soko yang tentunya berjumlah 6 buah. Diperkirakan Kuti Sanggrahana ini bangunannya sangat besar. Perlu diketahui umpak Pendopo Kongas Arum Kusumaning angsa satu sama lain sekitar 8 meter.
Karya arsitektural Majapahit ini sangat penting dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, khususnya ilmu bangunan, arsitektur rencana detail tata ruang wilayah. Hal yang sangat menarik untuk diperhatikan oleh semua pihak untuk mengapresiasi kawasan ini.
Dalam peta bumi letak basis-basis Mandala Kadewaguruan sebenarnya bukan hanya di Tulungagung, tetapi membentang dari kawasan dekat laut selatan sekitar Lumajang sampai ke Gunung Kidul Jawa Tengah. Kawasan ini pada waktu itu suasananya sunyi senyap dan terpencil dari pusat-pusat keramaian, tetapi cocok bagi peradaban Hindu-Budha untuk digunakan sebagai daerah pertapaan maupun daerah Kadewaguruan menggali inspirasi tentang kehidupan. Tulungagung peninggalan-peninggalan sebagai daerah Karesian lebih banyak dan lebih menonjol, mungkin letaknya secara geografis lebih strategis terutama Gunung Wilisnya yang dianggap tidak berapi, banyak rawa, hutan dan perbukitan-perbukitan, dilewati tikungan sungai Brantas dan tembusan sungai Ngrowo yang strategis untuk jalur transportasi air pada waktu itu.
Goa Pasir dan sekitarnya (Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua)
Terwujudnya penyatuan nusantara secara politik ternyata dalam perkembangannya belum cukup kuat. Terbukti masih banyaknya pemberontakan seperti serangan Jayakatwang yang dapat menjatuhkan kerajaan Singosari yang besar, pemberontakan Kuti, Semi, Nambi dan Rangkuti yang berhasil menduduki istana kerajaan Majapahit. Gayatri cucu Ranggawuni dan putri Kertanegara menyelesaikan kelemahan itu, dengan mengembangkan Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua sebagai tindakan kultural dan keyakinan ideologis agar nusantara menjadi kokoh. Berbagai perkara kultural dan keyakinan ideologis itu dia kerjakan bersama-sama tokoh dan para resi di Mandala Kaguruan yang terletak di Goa Pasir desa Junjung kecamatan Sumbergempol.
Prasasti Penampean 2 Sendang ( Cakrawala Mandala Nusantara )
Ketika peristiwa berdarah keris Mpu Gandring di Singosari terus berkecamuk selama 21 tahun, sekitar tahun 1248 dua orang pemuda patriotik bernama Narasingamurti (Keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung) dan Ranggawuni (Keturunan Ken Dedes dengan Ken Arok) yang sebelumnya terlibat dalam perselisihan berdarah, menyatukan pikiran berupaya menghentikan perang saudara mendapat bantuan pemuda bernama Panji A Pati Pati di Ranu Sendang ( dulu namanya daerah Sarwadharma ). Hasilnya, dapat melerai perselisihan berdarah dan sekaligus menyatukan Madura di bawah kerajaan Singosari. Wawasan tentang filsafat budaya Jawa yang dikembangkan itu akhirnya diberi nama Cakrawala Mandala Jawa, sebagaimana tertulis dengan huruf Pallawa pada Prasasti Penampean 2 (menurut buku Tapak Budaya Tulungagung, 2010). Kemudian setelah Ranggawuni diangkat menjadi Raja Singosari dengan mengangkat banyak Wide menjadi Adipati di Madura dan bergelar Wiraraja. Wawasan itu kemudian dikembangkan lagi menjadi Cakrawala Mandala Nusantara. Wawasan kemudian berkembang menjadi sebuah doktrin politik Singosari untuk memperluas wilayah kerajaannya, yang kemudian di era Majapahit diteruskan oleh Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya mempersatukan nusantara. Kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan pikiran-pikiran besar dan cerdas dari kajian masalah kebudayaan dari mandala kaguruan Sendang yang sebagaimana tertulis dalam Prasasti penampean 2 secara historis, memiliki peranan penting dan strategis dalam sejarah kebudayaan nasional NKRI.
Prasasti Bumi Lawadan
Sebelum perang berakhir di Ganter pada tahun 1222, perang besar itu pernah didamaikan (Raja Kediri terakhir tersebut mendapatkan pertolongan) di Wates Kulon Tulungagung Selatan sebelah barat daya mendapatkan pertolongan para resi-resi di sekitarnya, antara lain dari desa Kamulan Trenggalek sampai resi-resi yang ada di wilayah timur termasuk dari Panjer Rejotangan ( Prasasti Panjer ). Peristiwa besar tersebut menandai berakhirnya Dinasti Mpu Sendok (Raja Kediri terakhir Kertajaya/ Dandang Gendhis) ke Dinasti Ken Dedes, dan dimulai berdirinya kerajaan Singosari. Peristiwa tersebut ditandai dengan Prasasti Bumi Lawadan. Selanjutnya sekarang diperingati sebagai Hari Jadi Tulungagung.
Subscribe to:
Posts (Atom)